“Sungguh saya telah berjumpa dengan
beberapa kaum, mereka lebih bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu mereka
daripada kesungguhan kalian untuk mendapatkan dinar dan dirham” (Al-Hasan
Basri)
Saudaraku, Waktu adalah salah satu
diantara nikmat Allah yang paling berharga dan agung bagi manusia. Cukup bagi
kita kesaksian Al-Qur’an tentang betapa agungnya tentang nikmat yang satu ini.
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan tentang urgensi waktu, ketinggian
tingkatannya, dan juga pengaruhnya yang besar. Bahkan Allah telah bersumpah
dengan waktu dalam kitab-Nya yang mulia dan ayat-ayat-Nya yang luhur dalam
konteks yang berbeda-beda. Allah yang urusan-Nya yang begitu agung telah
bersumpah dengan waktu malam, siang, fajar, subuh, saat terbenamnya matahari,
waktu dhuha, dan dengan masa.
Hanya orang-orang hebat dan
mendapatkan taufik dari Allah, yang mampu mengetahui urgensi waktu lalu
memanfaatkanya seoptimal mungkin. Dalam hadits, “Dua nikmat yang banyak manusia
tertipu dalam keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang (HR. Bukhari).
Banyak manusia tertipu didalam keduanya, itu artinya, orang yang mampu
memanfaatkan hanya sedikit. Kebanyakan manusia justru lalai dan tertipu dalam
memanfaatkannya.
Saudaraku, Allah memberikan kita
setiap hari “modal” waktu kepada semua manusia di muka bumi ini adalah sama,
yaitu 24 jam sehari, 168 jam seminggu, 672 jam sebulan, dan seterusnya. Namun
kenapa prestasi bisa berbeda? Dalam waktu yang sama, Mereka mampu berbuat dan
berkarya seperti berikut:
1.
Rasulullah SAW : Dalam waktu 23
tahun bisa membangun peradaban Islam yang tetap ada sampai sekarang. Ikut 80
peperangan dalam tempo waktu kurang dari 10 tahun, santun terhadap fakir
miskin, menyayangi istri dan kerabat, dan yang luar biasa adalah beliau seorang
pemimpin umat yang bisa membagi waktu untuk umat dan keluarga secara seimbang!
2.
Zaid bin Tsabit RA : Sanggup
menguasai bahasa Parsi hanya dalam tempo waktu 2 bulan! Beliau dipercaya
sebagai sekretaris Rasul dan penghimpun ayat Quran dalam sebuah mush’af
3.
Abu Hurairah : Masuk Islam usia 60
tahun. Namun ketika meninggal di tahun 57 H, beliau meriwayatkan 5374 Hadits!
(Subhanallah!)
4.
Anas bin Malik : Pelayan Rasulullah
SAW sejak usia 10 tahun, dan bersama rasul 20 tahun. Meriwayatkan 2286 Hadits.
5.
Abul Hasan bin Abi Jaradah (548 H) :
Sepanjang hidupnya menulis kitab-kitab penting sebanyak tiga lemari.
6.
Abu Bakar Al-Anbari : Setiap pekan
membaca sebanyak sepuluh ribu lembar.
7.
Syekh Ali At-Thantawi : Membaca
100-200 halaman setiap hari. Kalkulasinya, berarti dengan umurnya yang 70
tahun, beliau sudah membaca 5.040.000 halaman buku. Artikel yang telah dimuat
di media massa sebanyak tiga belas ribu halaman. Dan yang hilang lebih dari itu.
8.
Ibnu Jarir Ath-Thabari, beliau
menulis tafsir Al-Qur’an sebanyak 3.000 lembar, menulis kitab Sejarah 3.000
lembar.Setiap harinya beliau menulis sebanyak 40 lembar selama 40 tahun.Total
karya Ibnu Jarir 358.000 lembar.
9.
Ibnu Aqil menulis kitab yang paling
spektakuler yaitu Kitab Al-Funun, kitab yang memuat beragam ilmu, adz-Dzahabi
mengomentari tentang kitab ini, bahwa di dunia ini tidak ada karya tulis yang
diciptakan setara dengannya. Menurut Ibnu Rajab, sebagian orang mengatakan
bahwa jilidnya mencapai 800 jilid.
10.
Al-Baqqilini tidak tidur hingga
beliau menulis 35 lembar tulisan.
11.
Ibnu Al Jauzi senantiasa menulis
dalam seharinya setara 4 buah buku tulis. Dengan waktu yang dimilikinya, beliau
mampu menghasilkan 2.000 jilid buku. Bekas rautan penanya Ibnul Jauzi dapat
digunakan untuk memanasi air yang dipakai untuk memandikan mayat beliau, bahkan
masih ada sisanya.
12.
Iman An-Nawawi setiap harinya
berlajar 12 mata pelajaran, dan memberikan komentar dan catatan tentang
pelajarannya tersebut. Umur beliau singkat, wafat pada umur 45 tahun, namun
karya beliu sangat banyak dan masih dijadikan sumber rujukan oleh umat muslim
saat sekarang ini.
Masih banyak lagi contoh-contoh luar
biasa lainnya. Kenapa tidak banyak orang yang bisa menyamai mereka? Padahal
waktu yang diberikan Allah kepada mereka sama dengan waktu yang diberikan Allah
pada hambaNya yang lain? Jawabannya adalah kecerdasan manajemen waktu.
Saudaraku, bercermin kepada genarasi
salafus shalih umat ini, dimana mereka telah menorehkan contoh-contoh yang
mengagumkan dalam memanfaatkan waktu, detik-detik umur dan setiap hembusan
nafas untuk amal kebajikan. Dengan mengetahui jalan hidup orang-orang saleh dan
kesungguhan mereka mereka dalam memanfaatkan detik-detik umur mereka dalam
ketaatan, memiliki pengaruh besar dihati seorang muslim, yaitu pengaruh dalam
menumbuhkan dan membangun gairah untuk memanfaatkan waktu dan memaksimalkan
deti-detik usia dalam perkara-perkara yang mendekatkannya kepada Allah. Mari
kita telusuri kisah indah dan uniknya mereka dalam memaksiamalkan waktu:
Para genarasi salafus shaleh umat
ini sangat bersemangat untuk menjaga waktu hingga dalam keaadaan sakit dan
sakratul maut
Al Biruni, (362H—440H), seorang ahli
ilmu falak dan ilmu eksakta, ahli sejarah, dan menguasai lima bahasa yaitu
bahasa Arab, Suryani, Sanskerta, Persia dan India. Saat detik-detik terakhir
hidup beliau, tetap mempelajari masalah faraidh (waris). Lalu seorang berkata
kepada beliau, layakkah engkau bertanya dalam kondisi seperti ini? Beliau
menjawab, kalau aku meninggalkan dunia ini dalam kondisi mengetahui ilmu dalam
persoaalan ini, bukankah itu lebih baik dari pada aku hanya sekedar dapat
membayangkannya saja, tidak tahu ilmu tentangnya. Tidak lama setelah itu beliau
wafat.
Ibrahim bin Jarrah berkata, “Imam
Abu Yusuf Al Qadli rahimahullah sakit. Saya Menjeguknya. Dia dalam keadaan yang
tidak sadarkan diri. Ketika tersadar, dia berkata kepadaku, ‘hai Ibrahim,
bagaimana pendapatmu dalam masalah ini?’ Saya menjawab, ‘Dalam kondisi ini
seperti ini?’ Dia menjawab, ‘Tidak apa-apa, kita terus belajar. Mudah-mudahan
ada orang yang terselamatkan karenanya.’ Lalu aku pulang. Ketika aku baru
sampai di pintu rumah, aku mendengar tangisan. Ternyata ia telah wafat.”
Syaikh Ibnu Taimiyah selalu menelaah
dan memetapi pelajarannya saat beliau sakit atau berpergian. Ibnu Qayyim
berkata, Syaikh kami Ibnu Taimiyah pernah menuturkan kepadaku, “Ketika suatu
saat aku terserang sakit, maka dokter mengatakan kepadaku,‘Sesungguhnya
kesibukan anda menelaah dan memperbincangkan ilmu justru akan menambah parah
penyakitmu’. Maka saya katakan kepadanya, ‘Saya tidak mampu bersabar dalam hal
itu. Saya ingin menyangkal teori yang engkau miliki. Bukankah jiwa merasa
senang dan gembira, maka tabiatnya semakin kuat dan bias mencegah datanya
sakit?’ Dokter itu pun menjawab, ‘Benar.’ Lantas saya katakan, ‘Sungguh jiwaku
merasa bahagia dengan ilmu, dan tabiatku semakin kuat dengannya. Maka, saya pun
mendapatkan ketenangan.’ Lalu dokter itu menmpali, ‘Hal ini diluar model
pengobatan kami.’
Mempersingkat waktu makan, serta
mengurangi makan agar tidak selalu sering ke WC
Kesungguhan genarasi salafus shalih
umat ini dalam memanfaatkan waktu sampai pada tingkat bahwa mereka merasa
sayang dengan waktu yang dipakai untuk makan, maka mereka mempersingkat sebisa
mungkin.
Dawud At-Tha’i rahimahullah
memakan alfatit (roti yang dibasahi dengan air). Dia tidak memakan roti
kering (tanpa dibasahi). Pembantunya bertanya, “Apakah anda tidak berhasrat
makan roti?” Dawud menjawab, “Saya mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca
50 ayat antara memakan roti kering dan basah.” (Sifatus Shafwah, 3/92)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah
menceritakan kepada kita, Ibnu Aqil berkata, “Aku menyingkat semaksimal
waktu-waktu makan, sehingga aku lebih memilih memakan kue kering yang dicelup
ke dalam air (dimakan sambil dibasahi) dari pada memakan roti kering, karena
selisih waktu mengunyahnya (waktu dalam mencelup kue dengan air lebih pendek
daripada waktu memakan roti keringi) bisa aku gunakan untuk membaca dan menulis
suatu faedah yang sebelumnya tidak aku ketahui.” (Dia melakukan hal itu supaya
bisa memanfaatkan waktu lebih). (Dzailut Thabaqatil Hanabilah, Ibnu
Rajab,1/177)
Asy-Syamsul Ashbahani, (674H—749 H),
seorang tokoh mahzab Syafii, pakar fiqih dan tafsir. Apa yang diceritakan
tentang beliau menunjukkan antusiasnya terhadap ilmu dan ‘pelitnya’ beliau
untuk menyia-nyiakan waktu. Sebagian sahabatnya pernah menuturkan bahwa beliau
sangat mengindari makan yang banyak, yang tentunya akan butuh banyak minum, dan
selanjutnya butuh waktu masuk WC. Sehingga waktu pun banyak terbuang. Lihatlah!
bagaimana mahalnya waktu dalam pandangan imam yang mulia ini. Dan tidaklah
waktu itu mahal bagi beliau melainkan karena betapa sangat mahalnya ilmu
tersebut.
Memanfaatkan waktu perjalanan dengan
membaca buku, berzikir, menuntut ilmu, bahkan menyampaikan hadist
Said bin Jabir berkata, “Saya pernah
bersama Ibnu Abbas berjalan disalah satu jalan di Mekah malam hari. Dia
mengajari saya beberapa hadis dan saya menulisnya diatas kendaraan dan paginya
saya menulisnya kembali diatas kertas.” (Sunan Ad-Darimi, Imam Ad-Darimi,
1/105)
Tentang Al-Fath bin Khaqan, beliau
membawa kitab dalam kantong bajunya. Apabila beliau bangun dari tempat duduknya
untuk shalat atau buang air kecil atau untuk keperluan lainnya, beliau membaca
kitabnya hingga sampai ke tempat ingin dia tuju. Beliau juga melakukan hal
tersebut ketika kembali dari keperluanya. (Taqyiidul ‘Ilm, Al Khatib
Al-Baghdadi)
Imam An-Nawawi tidak pernah
menyia-nyiakan waktunya, baik di waktu siang atau pun malam, kecuali menyibukkan
dirinya dengan ilmu. Hingga ketika beliau berjalan di jalanan, beliau
mengulang-ngulang ilmu yang telah dihafalnya, atau membaca buku yang telah
ditelaahnya sambil berjalan. Beliau melakukan itu selama enam tahun.
(Tadzkiratul Huffaz, Adz-Dzahabi, 4/1472)
Ibnu Khayyath An-Nahwi, wafat tahun
320 H. Konon, beliau belajar di sepanjang waktu, hingga saat beliau sedang
berada di jalanan. Sehingga terkadang, beliau terjatuh ke seleokan, atau
tertabrak binatang. (Al-Hatstsu ‘ala Thalabil ‘Ilm wal ijtihad fi jam’ihi, Abu
Hilal Askari, hal. 77)
Memanfaatkan waktu-waktu makan, saat
istirahat, bahkan saat di Kamar kecil (WC) sekalipun untuk membaca atau
mendengar ilmu
Ahmad bi Ali berkata kepada Abdur
Rahman bin Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah, “Apa penyebabnya Anda banyak
mendengar hadis dari bapakmu? Dan Anda banyak bertanya kepadanya?” Dia
menjawab, mungkin karena ketika dia makan, saya belajar hadis kepadanya. Ketika
berjalan, saya belajar kepadanya. Ketika dia buang hajat, saya belajar
kepadanya dan ketika dia masuk rumah untuk mencari sesuatu, saya belajar
kepadanya.” (Siyar A’lamin Nubala, Imam Adz-Dzahabi,13/50)
Simaklah cerita Ibnu Aqil Hambli rahimahullah
tentang bagaimana ia menjaga waktunya, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan
sesaat saja dari umurku, sehingga apabila lisanku telah lelah membaca dan
berdiskusi, mataku telah lelah membaca, maka aku menggunakan pikiran aku dalam
keadaan beristirahat (berbaring di tempat tidur). Aku tidak akan berdiri,
kecuali telah terlintas di benakku apa yang akan aku tulis. Dan aku mendapi
kesungguhanku belajar ikmu dalam usia 80 tahun lebih kuat daripada apa yang
kudapai ketika aku berumur 20 tahun.” (Al-Muntadzim fi Tarikhil Umam, Ibnu
Jauzi, juz 9)
Ibnu Qayyim rahimahullah
berkata, “Telah memberitahukan kepadaku saudara Syaikh kami, Abdur Rahman bin
Abdul halim Bin Taimiyah dari ayahnya berkata, “Adalah kakek (yaitu Majdudin
Bin Taimiyah) apabila ia masuk WC, dia berkata kepadaku, “Bacalah buku ini
untukku, keraskanlah suaramu sehingga aku mendengarkannya.” Maka Ibnu Rajab
mengomentari, “Hal ini menunjukkan akan kuatnya antusias beliau terhadap ilmu,
sekaligus semangatnya untuk menggapainya, dan juga penjagaan beliau terhadap
waktunya.” (Dzailuth Thabaqatil Hanabilah, Ibnu Rajab, 2/24)
Ibnu Nafis seorang ulama dan dokter
terkemuka yang unggul, ia senantiasa menjaga setiap waktunya dan kesempatannya
guna menorehkan ide dan pemikirannya, justru disaat-saat yang paling unik dan
asing bagi yang lainnya. Beliau adalah pemuka dan orang yang terkemuka dalam
ilmu kedokteran, dan memiliki banyak karya dalam bidang kedokteran. Diceritakan
bahwa beliau mencatat sejumlah persoalan kedokteran disela-sela mandinya yaitu
mengenai denyut nadi. Beliau lahir di Damaskus tahun 610H, dan wafat di Kairo
pada tahun 687H. (Raudharul Jannat, Al-Khawanisari)
Melakukan dua aktivitas yang
berbarengan sekaligus, untuk mengoptimalkan waktu-waktu yang tersedia
Sungguh Ulama salaf sangat
berhati-hati sekali menjaga waktunya, mereka tidak akan membiarkan waktunya
terbuang percuma dan berlalau sia-sia. Mereka cerdas dalam melakukan
optimalisasi waktu. Meraka mampu merangkum dua kegiatan sekaligus dalam waktu
yang berbarengan. Seperti yang telah disebutkan di atas, mereka berlajar sambil
jalan, mendengarkan ilmu ketika di WC, memecahkan persoalan yang rumit
disela-sela mandinya, membaca buku saat makan, berlajar disela-sela kesibukan
dagang, memikirkan ide dan gagasan ilmu disaat berbaring di atas kasur, dan
masih banyak lagi contoh-contoh yang mengagumkan tentang potret ulama salah
dalam optimaliasisi waktu. Bahkan tetap memanfaatkan waktu, ketika memenuhi
kewajiban mengadiri undangan, menerima tamu.
Ibnu Jauzi tetap bekerja tanpa
meninggalkan berbicara saat dikunjungi tamu. Beliau menuturkan sendiri tentang
bagaimana beliau memanfaatkan waktunya, “Saat saya menyadari bahwa waktu adalah
sesuatu yang paling berharga, maka sudah menjadi kewajiban memanfatkan waktu
tersebut untuk berbuat kebajikan. Maka saya tidak menyukai kebiasaan tersebut
(maksudnya kebiasaan bertamu yang tidak membawa manfaat yang banyak terjadi
didalamnya obrolan tak tentu arah, duduk berlama-lama), dan tidak suka
berlama-lama dengan mereka, karena dua hal. Kalau saya menyalahkan mereka, maka
akan terjadi kekurangakraban karena tindakan itu berarti memutus pertalian
hati. Kalau saya mengikuti mereka, maka waktu terbuang sia-sia. Akhirnya saya
berusaha mengindari pertemuan sebisa mungkin. Kalau saya kalah, maka saya cukup
berbicara sedikit saja agar cepat berpisah. Kemudian saya sengaja menyiapkan berbagai
pekerjaan sambil terus berbicara pada saat berjumpa dengan mereka, agar waktu
tak terbuang sia-sia. Untuk menyiapkan pertemuan dengan mereka, saya sengaja
memotong-motong kertas, meraut pensil, mengikat buku-buku. Karena semua itu
adalah aktivitas yang memang harus dilakukan, tanpa harus berpikir dan
berkosentrasi. Maka, semua pekerjaan itu saya siapkan untuk saat pertemuan
dengan mereka, agar waktu saya tidak terbuang secara sia-sia.” (Saidul Khatir,
Ibnu Jauzi)
Imam Sulaim Ar-Razi, ia wafat pada tahun
447 H. Beliau amat militan dalam menjaga sifat waranya. Beliau selalu melakukan
introspeksi dalam soal waktu. Beliau tidak pernah membiarkan waktu berlalu
tanpa manfaat, dengan terus menulis, mengajar, membaca tau menyalin ilmu dalam
jumlah banyak. Abu faraj menuturkan, “Al-mualli bin hasan pernah menceritakan
kepadaku bahwa ia melihat Sulaim Ar-Razi sedang memegang pena yang matanya
sudah habis. Ia memotong kayu diujung penanya, sambil bibirnya bergerak-gerak.
Al-Mu’amil akhirnya tahu, bahwa ia membaca sesuatu sambil memperbaiki penanya,
sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia”. Yakni, saat kedua tangannya
bekerja, beliau menggerak-gerakkan bibirnya untuk berzikir, agar tidak ada
waktu berlalu sia-sia, tanpa melakukan ibadah kepada Allah. (Thabaqat
Asy-Syafi’iyah Al-Wustha, Tajuddin As-Subki)
Ada ulama yang mensayatkan kepada
orang yang mengundangnya ke acara walimahan agar disediakan baginya tempat yang
agak lapang, guna meletakkan bukunya, yang akan beliau baca disela-sela
mengadiri pesta tersebut. Kalau tidak ada, maka beliau lebih memilih tidak
mengadiri acara tersebut.
Mengurangi tidur, dan mengisi
malamnya dengan menuntut ilmu dan ibadah
Sebagian besar manusia waktu
malamnya dimanfaatkan untuk tidur, jika pun tidak digunakan untuk tidur, mereka
menggunakannya bergadang untuk hal-hal yang sepele, yang tidak membawa manfaat
uyntuk dunia dan akhiratnya. Namun tidak bagi generasi salafus shaleh umat ini
mereka menyadari kemulian zaman, mereka tahu akan hakekat waktu, waktu cepat
berlalu, kalau berlalu tidak akan bisa kembali lagi. Mereka menyadari bahwa
umur itu singkat, waktu boleh sama tapi prestasi harus beda. Tidak ada jalan
lain bagi mereka selain mengurangi tidur mereka.
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani
tidak tidur malam kecuali sangat sedekit sekali. Beliau adalah seorang imam
ahli fikih, ahli ijtihad dan ahli hadis. Beliau lahir tahun 132H, dan wafat
189H. Konon beliau sering tidak tidur malam. Beliau biasanya meletakkan
beberapa jenis buku disisinya. Bila bosan membaca satu buku, beliau akan
menelaah yang lain. Beliau menghilangkan rasa kantuk dengan air, sembari
berujar, “Sesungguhnya tidur berasal dari panas”. (Miftahus Sa’adah wa Misbahus
Siyadah, I:23)
Gurunya Imam An-Nawawi berkata
tentang Al-Hafizh Al-Mundziri, “Saya belum pernah melihat dan mendengar seorang
pun yang paling bersungguh-sungguh dalam menyibukkan diri dengan ilmu selain
dirinya. Ia senantiasa sibuk di waktu malam dan siang hari. Saya pernah
berdampingan dengannya di sebuah madrasah di Kairo. Selama 12 tahun, rumahku berada
di atas rumahnya. Selama itu pula saya belum pernah bangun malam pada setiap
jammya, melainkan cahaya lampu senantiasa menyala di rumahnya, sedangkan ia
hanyut dalam ilmu. Bahkan ketika makan pun ia sibuk dengan ilmu.” (Bustanul
Arifin, Imam Nawawi)
Imam An-Nawawi sorang imam yang
terkemuka, Syaikhul Islam, dan banyak menghasilkan karya tulis. Beliau datang
ke Damaskus pada tahun 649H dan menetap disana yaitu di Madrasah Ar-Rawahiyah.
Beliau berkata tentang diri beliau, “Saya menetap disana selama dua tahun.
Selama itu, saya nyaris tidak pernah tidur.” Beliau berhasil menghafal kitab
At-Tanbih selama 4,5 bulan dan membaca seperempat kitab Al-Muhazzab dengan
hafala.” (Tadzkiratul Huffaz, Adz-Dzahabi)
Inilah keadaan orang-orang shaleh
dan kisah-kisah mereka, beginilah seharusnya kita memanfaatkan setiap detik
waktu kita. Lalu bagaimana dengan kita? Saudaraku, mereka beruntung sementara
engkau terlelap. Mereka meraih kemenangan, sementara engkau meraih tangan
kosong. Maka segera kita manfaatkan detik-detik umur kita, tekadkan dalam hati
bahwa hari ini kita akan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, memandang
setiap kesempatan adalah penting. Mari persembahkan karya yang paling baik dan
bermanfat, di usia kita yang pendek ini.
Diselesaikan Magrib, 1 Muharram
1431H / 17 Desember 2009
Ahmad Bin Ismail Khan
Bacaan Referensi:
1.
Qimatuz Zaman ‘indal ‘Ulama,
SyaikhAbdul Fatah.
2.
Khams Wa ‘Isyrun Wa Mi’ah Li Hifdzil
Waqti, Abul Qa’qa Muhammad Bin Shalih.
3.
Beberapa artikel dari internet yang
berhubungan dengan menjaga waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar